Terlalu bosan
mengatakan jika manusia adalah makhluk sosial, makhluk berakal, atau apalah
arti manusia itu. Sering berdengung hingga merasuk otak kita bahwa sosok
perubah dalam kehidupan ada di tangan manusia. Bisa disetujui, tetapi cukup
aneh jika itu hanya sebatas karangan untuk membuat kedudukan individu sedikit
“terlihat” bermartabat. Jelasnya, terlalu banyak omong kosong.
Entah kapan
pada saat nenek moyang kita membuat doktrinisasi sebagai cara agar membuat
keturunannya menjadi sama seperti dia. Alih-alih jika menjadi lebih sempurna
daripada dia, pola pikir yang terproyeksi hanya berbeda beberapa jarak pandang
hingga terakumulasi. Apapun itu, hal tersebut membuat perbedaan antara manusia
dengan makhluk-makhluk lainnya. Punya akal budi.
Tanpa
memandang remeh, penulis tidak bermaksud merendahkan ras nenek moyang.
Kendatipun demikian beliau adalah nenek moyang penulis juga. Hargai mereka,
maka kita akan tahu betapa cinta ada karena diajarkan sejak dahulu tanpa
sesuatu kekurangan. Proyeksi indah yang kita terima.
Sejarah
terpandang jauh apabila kita kaji seksama. Tapi tak perlu kita ulaskan semua
persepsi itu. Kalau perlu kita pecah bersama. Diajarkan bahwa sejarah
mengajarkan kejadian kronologi yang membuat rantai waktu seakan-akan sering
terulang. Ada titik awal dan akhir yang berulang-ulang seraya menciptakan zona
kehidupan tanpa adanya plagiasi pada tiap perulangan. Ini adalah suatu keunikan
dalam menjelajah medan pikiran agar kita sadar bagaimana layaknya kita dalam
berpikir selayaknya kodrat yang diberi Tuhan.
Saya mulai
penitian ini dari perjuangan mahasiswa agar kita tahu seksama tentang refleksi
mahasiswa yang ada secara umum.
Mahasiswa
dominan berasumsi bahwa mereka adalah suatu pembeda dikalangan masyarakat.
Mereka adalah kaum muda revolusioner. Mereka bisa menyampaikan aspirasinya
melalui banyak cara. Kegiatan yang mengontruksi kepribadian sehingga menjadi
manusia berdedikasi. Terbilang mudah apabila mereka membuat itu meskipun waktu
kuliah mereka gadai dengan sesuatu yang katanya “soft skill”. Walaupun itu
sekadar menjual makanan pun itu menjadi proyek nyata menaikkan kedudukan jiwa
dari titik ketidakmampuannya. Memang ada risiko, tetapi mahasiswa paham apa
yang harus dikorbankan agar jalannya tegak terhindar dari mara bahaya.
Membahas kata
“Pembeda” menjadi objek yang menarik untuk dikaji secara eksplisit. Rasanya
kurang sempurna jika tidak memasang slogan “Hidup Mahasiswa!” dalam perjuangan
mahasiswa. Titik hulu keberbedaan untuk didengar yang membakar semangat
mahasiswa melakukan suatu perubahan yang bisa kita nantikan. Jika kita pandang
secara umum bahwa keistimewaan sudah tercantum dalam status mahasiswa. Apa
landasan yang bisa menjadi corong dalam pernyataan itu? Kita dapat melantunkan
jawaban seterbuka mungkin mungkin agar mudah untuk diklarifikasi. Apabila
disusun secara tepat, hal itu bisa menjelaskan bagaimana sentral dogma yang
tegak berdiri pada status mahasiswa.
Kita tidak
dapat mengingkari bahwa intelektual adalah otoritas yang harus dikuasai oleh
setiap orang. Kendatipun mahasiswa harus diambang batas keintelektualnya.
Adanya pemahaman menjadi bukti bahwa masyarakat tidak selamanya menjadi faktor
koreksi dalam berkehidupan. “Mahasiswa memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki
pada umumnya”. Pernyataan yang terdengar sedikit congkak, tetapi bisa diselidik
secara formal. Biarkan jembatan intelektual yang membuka tabir jembatan
intelektual. Tanpa menyinggung sedikitpun harga intelektual seorang manusia
Menelusuri
adanya moral sebagai pembentuk karakter dan sifat manusia melalui mahasiswa
dapat kita jadikan sandaran sementara untuk dikaji. Satu kata yang bisa
dibanggakan oleh mahasiswa adalah moral terbuka. Kemanjaan yang mulai hilang
dari karakter mereka menjadikan dirinya lebih hidup dalam bersandiwara. Moral
yang berdiri di kawasan mereka memahat pola pikir sehat dalam sistem kerja otak
serta merta dapat diaspirasikan dalam hati yang bergelora. Mereka lebih
menerima ataupun menoleransi terhadap perbedaan yang terpajang di pandangan
mereka. Kendatipun mereka saling mengerti sehingga membentuk satu kesatuan
dalam komando yang terarah. Seakan-akan tidak ada seorang pun yang dapat
menghancurkan mereka bahkan satu jurus sekalipun. Moral terbuka yang sulit ditemukan
di masyarakat umum. Sekali lagi kita katakan “pembeda”.
Inilah
jaminan-jaminan yang didapatkan mahasiswa. Berdiri tegak dengan apa yang mereka
miliki. Pembeda yang istimewa sudah berkobar untuk membuat negara meroket.
Pembeda yang menjadi gladiator dalam rujukan semangat kemajuan negara. Pembeda
yang menjadi maestro dalam jalan beraspirasi. Pembeda yang tahu akan
arti tekad membara dalam semangat juang. Keistimewaan yang diiri tiap insan.
Tidak ada kurang!
Timbulah suatu
pertanyaan bagi masyarakat. Apakah mahasiswa seperti itu? Apakah mahasiswa
peran seperti itu? Apakah itu jaminan mahasiswa? Dan pertanyaan yang
menggejolak reputasi adalah apakah yang dikatakan mereka adalah sebuah
kebenaran? Lantas, apakah itu sebuah tantangan atau olokan? Terkesan lugu, tapi
mari kita bahas satu per satu. Secara singkat.
Pertama, kita
bisa analogikan bahwa mahasiswa adalah pemain, sedangkan universitas adalah
lapangan. Mahasiswa macam apa yang tak mengetahui cara permainan di lapangan? Hal
muak yang perlu dilantangkan adalah banyak mahasiswa yang belum tahu apa itu
cara dan aturan!
Bahasan yang
perlu dicukil adalah ideologi pada tiap manusia. Sejak kapan perbedaan ideologi
adalah melanggar aturan? Banyak pekerjaan untuk menyelesaikan persoalan ini. Ideologi
adalah hak manusia. Manusia yang dilahirkan berhak untuk berpikir dalam batas
pandangannya. Tidak dituntut untuk mengikuti warisan pemikiran dari generasi
sebelumnya meskipun ada orang yang lebih menyukai kemunduran. Ideologi ada
sebagai pembentukan “idea” yang bersifat fundamental. Maka, kembali berpaling
pada mahasiswa bahwa kebenaran adalah miliki mereka secara mutlak. Kebenaran yang
mereka yakini adalah kebenaran absolut! Kebenaran yang mencapai titik paripurna!
Kita perlu belajar dan berpikir bahwa bukan ini yang kita harapkan. Mahasiswa
harusnya lebih terbuka terhadap aspek-aspek yang muncul. Bukankah itu sebuah hal yang kita harapkan?
Kedua, hanya
perlu sedikit narasi dan secuil aforisme untuk menjawab pertanyaan ini. Mahasiswa
harusnya menjadi solusi! Akhir-akhir ini mahasiswa mengalami ketimpangan moral.
Berdemo dalam “kebaikan”. Timbul sedikit kecewa dalam hati ini bahwa kebaikan
sekarang semakin sempit koridornya. Mengapa solusi itu menyempitkan koridor
kebaikan? Bukankah solusi itu lahir sebagaimana kebaikan selalu terbit dari
hati dan pikiran? Atau mungkin ada kemungkinan bahwa mahasiswa mencari
eksistensi dan popularitas? Itukah peran mahasiswa? Hiduplah untuk mengarah
ke atas mengejar Ilahi daripada bersusah payah untuk turun mencari pandang dari
mereka.
Ketiga, ketika
mahasiswa berjalan pada garis edar mereka, apakah garis edar itu mereka
ciptakan sendiri atau membeli pada “sesuatu” yang menarik? Pada era ini, banyak
orang merasa bahwa semuanya harus ada jaminan. Seakan-akan jaminan adalah tiang
dasar dalam berkehidupan. Maka, jawaban yang agak tepat untuk menjawab
persoalan ini adalah jaminan adalah jalan orang yang tak mampu! Ketika orang
tak mampu untuk berjalan dia mencari sesuatu untuk mendapatkan jaminan dapat
berjalan. Itulah status jaminan yang tak pantas untuk dimiliki orang berdikari!
Mahasiswa lahir untuk berdikari, bukan menjadi manja. Maka, mulailah dari hal
kecil ataupun remeh sekalipun akan pentingnya konformasi pribadi yang dirasa
tepat.
Apakah
kebenaran itu? Pertanyaan yang menjawab pertanyaan terakhir ini sedikit
menyinggung filsafat. Kiranya sesuatu yang saya utarakan adalah benar untuk
hari ini, tetapi tidak untuk esok. Mohon pantaskan pemikiran pembaca terhadap
pemikiran saya.
Perlu
dipertegaas dari awal bahwa kebenaran milik Tuhan semata. Axioma ini
tidak perlu diperdebatkan lagi khususnya untuk kaum beragama. Cukup di sini
dasaran yang perlu disamakan.
Kebenaran
yang disampaikan pada seseorang terkadang tidak sama dengan kebenaran orang
lain. Kita bisa menyebutnya relatif. Bukankah kebenaran itu milik Tuhan? Kita tidak
dapat memiliki stratum itu. Kebenaran yang ada adalah kebenaran ada masanya. Bukan
bermaksud untuk mengikatkan kebenaran terhadap waktu seolah kebenaran tergerus
oleh waktu. Kebenaran hari ini bisa jadi salah pada hari esok. Panca indra pada
manusia memiliki batas fungsi sehingga manusia bisa berpendapat menurut apa
yang mereka rasakan. Tapi pada kenyataan yang perlu kita jadi sandaran adalah
manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir!
Mahasiswa
adalah manusia. Maka status ini memiliki batas ambang untuk kita ketahui. Kebenaran
yang diutarakan mahasiswa adalah sebuah marker agar manusia tahu bahwa
mahasiswa adalah manusia yang berpikir mengarungi jembatan untuk mencapai titik
temu sebagai manusia beradab. Bisa ditambahkan catatan bahwa mahasiswa berpikir
untuk mengarungi kebenaran, buksn menguasai kebenaran secara paripurna.
Itulah
mahasiswa yang dapat dideskripsikan sebagai muatan-muatan indah dalam
kehidupan. Kita perlu tahu bahwa keseimbangan kehidupan tidak hanya dalam
lingkup bilogis atau fisika semata, tetapi pembahasan metafisika yang ada sejak
diciptakan alam ini sehingga kita menyadari bahwa kehidupan ini perlu kita
syukuri. Biarlah akal menerima kebenaran. Karena kebenaran itu rendah hati,
tidak dapat dituntut, tetapi memang harus hinggap pada akal.
Komentar
Posting Komentar