Ibadah tak jauh lagi dari rangkulan manusia. Bukan sebuah
keotoriteran, tapi sebuah kewajiban yang memiliki pendekatan kepada-Nya. Hanya
hamba dan Tuhan yang mengetahui kelatarbelakangan hubungan mereka. Disaat tuhan
memberikan nikmat kepada seorang hamba, maka disitu pula tak jauh sebuah cobaan
tersisipi di dalamnya.
Nikmat
dan cobaan telah membelongsongi ciptaan-Nya. Terkadang sebuah cobaan yang tak
mampu kita tafsirkan memunculkan sebuah kenikmatan. Ataupun kenikmatan yang
tersisipi cobaan yang mencoba mengketarkan kesenangan. Hanya saja apakah
manusia mampu bertahan dalam sandiwara yang penuh dengan ketertipuan dunia?
Politik
adalah sebuah tindakan. Yang telah mengulit pada kita tentang kepengurusan
negara secara bijak atas pemerintah. Mengurusi keuangan negara, arus – balik
ekonomi negara, dan sebagainya. Tentunya dibutuhkan orang yang telah siap untuk
mengoperatorkannya. Berpengetahuan ataupun berpengalaman dalam bidangnya yang
entah kita tahu seluk beluknya.
Dalam
pandangan masyarakat, politik adalah permainan yang diada – ada oleh pejabat
negara. Seakan – akan politik berujung “neraka” bagi pelaku. Korupsi yang tak
bisa luput dari dunia poitik. Entah pencucian uang, penyuapan, makan uang
rakyat apalagi. Semua telah tertancap pada pikiran masyarakat. Merusak sistem
kerja otak yang mereka gunakan selama ini untuk mempercayakan orang yang pantas
untuk membuat negara ini maju di pandangan dunia. Bukan hanya itu. Membuat
rakyat makmur seperti lagu nasional yang sering dinyanyikan saat jenjang taman
kanak – kanak.
Politik
itu tidak pernah salah, dapat dikatakan sangat penting. Tetapi sesuatu yang
menjadi digresi adalah orang yang mengoperasikan semuanya, dalam kata lain
adalah pelaksana. Perlu penjelasan yang
mutakhir dan merakyat untuk memberikan pemahaman baru untuk menghapus pemahaman
yang melenceng pada masyarakat. Tentu tak mudah merevisi sebuah pemikiran
masyarakat dengan sebuah omongan besar. Tetapi sebuah bukti nyata cukup membuat
mereka tersenyum karena kemakmuran.
“terdapat
ibadah dalam politik.” Dalam perspektif orang awam belum tentu percaya pada
seutas kalimat penuh keambiguan ini. Tetapi, dalam pespektif agama ataupun
pemikir positif pasti mengangguk terhadap kalimat ini. Tentu ada jawaban yang
eksplisit untuk mendukung masalah yang telah membuat “panas” masyarakat.
Politik
hakikatnya adalah mengatur. Sebuah pengaturan yang berdampak baik yang mampu
menguntungkan negara, khususnya masyarakat akan menjadi sebuah kebahagiaan
terbesar bagi setiap bagiannya. Tanpa pengaturan yang tepat, kemungkinan besar
ataupun pasti sebuah negara tidak akan berjalan secara kontinu ataupun
akumulasi.
Kembali
pada hal pertama masalah keagamaan, nikmat dan cobaan. Sebuah kedudukan bukan
berarti pencapaian akhir suatu kondisi. Melainkan sebuah mesin yang siap
bekerja dalam situasi apapun. Orang pelaku politik mendapatkan jabatan tinggi
yang mampu dianalogikan seperti kenikmatan dari tuhan. Tetapi, dibalik jabatan tinggi
itu, sebuah cobaan melilitinya. Tugas yang harus diselesaikan negara untuk
membangun, memakmurkan, ataupun memajukan didalamnya adalah sebuah cobaan yang
terbutakan di mata masyarakat.
Ibadah
bukan hanya berarti sesuatu yang bersifat teologi. Melainkan hablumminallah
terjalin, tak lupa hablumminannas juga terkoneksi satu sama lain. Sesuatu
tindakan mampu berpahala jika diawali niat yang baik. “Innamal a’malu
binniyat.” Dalil telah jelas. Tinggal perlakuan yang menanggung semua.
Adapun
politik berjalan pada ibadah yaitu disaat pejabat memenuhi amanahnya sebagai
orang yang mampu melakukan politik untuk negaranya. Adapun juga kejujuran masih
sakral dalam keharusan pejabat negara. Dalam arti, ibadah adalah menyatakan
bakti kepada tuhan dengan cara –cara yang dinilai positif bagi pandangan yang
logis.
Amanah
dalam politik tidak seperti membalikkan tangan. Dibutuhkan keyakinan kuat untuk
membubuhi jiwa yang penuh nafsu. Karena inilah manusia. Akal dan hati
bersandiwara mencoba untuk memberikan dedikasi pada pemiliknya. Godaan iblis
tak bisa diam menuturkan keburukan yang memberikan kenikmatan buta. Al –
Ghazali pengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin pernah barkata pada muridnya
bahwa sesuatu yang berat adalah bukan gajah atau sejenisnya, melainkan adalah
sebuah amanah.
Kejujuran
tak lepas dari kalutan ibadah berpolitik. Satu kejujuran lepas dari diri, rusak
semua susunan hati yang bersambung pada lisan. Hati makin tak kokoh menegakkan
amanah yang menyelimuti dirinya hanya karena lisan yang berdusta pada negara. Hal
yang berbentuk A berubah menjadi Z karena lisan yang melenceng dari garis
kemuliaan.
Terlalu
berat amanah dan kejujuran dilakukan tanpa keimanan dari tiap individu tanpa
berpegangan pada tuhan. Selayaknya hati ini bersih akan secara otomatis membuat
akal diri tersadarkan bahwa berpolitik membutuhkan amanah dan kejujuran. Dapat
kerkoneksikan bahwa sebuah cobaan besar membutuhkan ikhtiar yang mampu
mendobrak cobaan itu yang berakibat sebuah kenikmatan yang tak mampu
ditafsirkan secara akal, melainkan rahasia tuhan yang tersingkap dalam dinamika
kehidupan.
Guru kita
KH. Agoes Ali Mashuri pengasuh Ponpes Bumi Shalawat mengatakan “Barangsiapa
yang memandang akhlak mulia sebagai ibadah, ia akan menghiasi diri dengan
akhlak itu dalam praktek kehidupan nyata.” Sangat jelas bahwa keberadaan ibadah
mampu membuat sesuatu menjadi barang jadi yang nyata bahwa semua hal baik akan
menghiasi jiwa dalam setiap perjalanan hidup masing – masing individu.
Maka
kita analogikan pada perihal politik yang masih terdefinisikan oleh pandangan
masyarakat bahwa politik bersifat “gelap” dengan hal di atas bahwa politik yang
dilakukan hanya karena semata – mata karena ibadah, maka itu akan menjadi modal
berpolitik yang mulia dalam kehidupan sehari – hari. Tidak hanya di kursi kepemimpinan,
tetapi di mana – mana politik yang mulia akan bergulung dalam seluruh
sanubarinya.
Tak
dapat lagi dikatakan mudah perlawanan dalam segi buruk politik bagi pemerintah.
Mereka harus memenuhi kesanggupan mereka untuk menuntaskan kewajiban mereka
sambil menepis hal – hal buruk yang telah jadi momok bagi politik. Perjalanan
maslah politik bukan dari hal kacil, melainkan dari hal yang besar membuatnya
menjadi kecil. Karena Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata “segala
sesuatu pada mulanya diciptakan kecil lalu membesar, kecuali musibah yang
diciptakan besar lalu mengecil.” Musibah yang tercantum dalam perkataan
tersebut tidak hanya berarti musibah semata. Tetapi musibah adalah sebuah
cobaan yang pasti memiliki pengakhiran, yang tidak sadar menaikkan level kelas
dihadapan-Nya.
Maka
dapat disimpulkan bahwa politik bukan sebuah keburukan yang nyata bagi suatu
negara, tetapi adalah suatu tindakan yang mendorong negara dalam kemajuan
negara. Dan tersifati di dalamnya sebuah cobaan berat yang harus dituntaskan
dengan ikhtiar yang maksimal yang akan berujung pada kenikmatan yang dapat
dirasakan oleh masyarakat. Maka kita perlu membenahi lisan kita terhadap
buruknya perspektif kita betapa sulitnya prakarsa yang dilakukan oleh pejabat
negara yang terbayangi oleh godaan yang seakan – akan tak dapat kita kuasai
didalamnya.
Komentar
Posting Komentar