...
Beberapa perihal yang berkaitan
dengan kausalitas kemunduran agama juga -secara terpaksa- membuat umat manusia
mengakui kemajuan sains dan teknologi. Sebab-sebab kemunduran yang dialami
agama sendiri tidak harus diteruskan hingga terjadi munculnya akibat-akibat
kronis. Terlebih, kemajuan sains dan agama juga tidak boleh diganggu oleh agama
agar mengikuti pergerakannya.
Secara terpaksa, umat manusia harus
perlu tahu seberapa kapasitas antara agama dan sains teknologi. Untuk waktu
ini, perlu dihindari oleh kita pembagian kategori yang seimbang antara agama
dan sains teknologi. perihal keduanya tidak seperti buah semangka yang dibagi
menjadi dua, tetapi dua hal yang sangat tidak seimbang. Pada dasarnya, agama
adalah sesuatu yang berhubungan dengan metafisika. Sedangkan sains dan
teknologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan dasar kognisi
yang sesuai antara kognisi dan objek. Bukan berarti agama tidak sesuai dengan
kognisi dan objek, tetapi agama adalah sebuah dogma yang sulit untuk dikritis
dengan akal sehingga kognisi tidak dapat berperan penting dalam tatanan
kehidupan. Kita bisa bayangkan betapa luas atau tak terbatasnya medan
metafisika dibandingkan sains dan teknologi yang sepertinya menjadi induk dari
pemikiran umat manusia. Tetapi, abad ini tidak seperti demikian. Yang tercipta
adalah bejana emas agama dan bejana fleksibel sains dan pengetahuan.
Bejana emas agama hanya memiliki
volume yang satu, tidak dapat mengalami penambahan volume. Sedangkan bejana
fleksibel sains dan teknologi mampu mengalami pembengkakan isi sehingga dapat
memuat lebih banyak dari pada bejana dengan satu volume. Penjelasan ini bukanlah
konsepsi sempitnya agama daripada sains dan teknologi. Seiring berjalannya
sejarah, konsepsi yang terlahir dari hasil pemikiran umat manusia merepresentasikan
kapasitas agama yang tak terbatas sehingga beberapa dari mereka mulai
menggambarkan kapasitas akal pada diri mereka terhadap agama dengan intensitas
yang kecil. Daripada membuat dirinya merasa tersiksa dengan akal yang dimilikinya,
mereka lebih memilih jalan yang memudahkan mereka untuk bereksplorasi terhadap
alam dari pada memperdebatkan metafisika yang penuh imaji. Imaji yang
dilahirkan dari kognisi yang saling menjebak antara garis satu dengan garis
yang lain. Hingga pada akhirnya, bejana emas agama adalah muatan yang satu,
yakni tentang Tuhan. Sains dan teknologi yang meskipun bejananya tidak sebesar
milik agama memiliki daya tarik terhadap akal umat manusia untuk mengembangkan
bejana tersebut yang pada akhirnya -hanya sebuah gambaran- akan melampaui
bejana emas agama.
Sebagai tambahan, bahwa agama lambat
untuk bereaksi. Lebih tepatnya bukan agama itu sendiri, tetapi pemuka agama.
Dunia media telah muncul pada kurun waktu sebelumnya. Parahnya, umat manusia
yang dulunya lebih sering berkonsultasi terhadap permasalahan pribadi karena
ingin keluar dari itu semua beralih ke media. Penyebabnya adalah
jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh pemuka agama tidak begitu menyelesaikan
masalah dibandingkan dengan mencurahkan di media dengan harapan manusia yang
berpengalaman atau kokoh di bidangnya memberi pencerahan logis dan teranalisis.
Kemudian dengan ini mereka mampu melampiaskan kepedihannya agar yakin bahwa
tidak hanya dirinya yang mengalami. Perlu diingat kembali bahwa agama dipenuhi
dengan pembahasan kitab-kitab lampau. Apakah agama mampu menyelesaikan
permasalahan penelitian sains atau teknologi?
Hanya sebuah apriori. Tapi tidakkah
itu akan menjadi nyata? Bukankah itu memungkinkan indera yang kita miliki akan
merasakan hal yang demikian? Atau itu semua sedang kita rasakan?
Mau tidak mau agama harus menyiapkan
rencana yang mapan dan mampu di segala sektor, baik di sektor inteligensi
maupun material. Dalam tulisan ini, akan saya sampaikan salah satu titik di mana
dalam apriori yang saya gunakan mengelaborasi pemikiran saya sehingga setiap
orang dapat memberikan kajian ulang terhadap tulisan saya. Saya harapkan itu
akan terjadi.
Sesuatu yang penting untuk
dipertimbangkan dalam memperbaiki kelemahan ini adalah kualitas pemuka agama. Pemuka
agama! metafisika adalah ilmu yang benar-benar ada, tetapi dalam praktiknya
bahwa setiap orang bebas menyatakan keraguannya mengenai kemungkinan-kemungkinan
yang tercipta dalam metafisika. Dan yang perlu diperjelas kembali adalah -agar
pembaca yakin- bahwa agama adalah sesuatu yang berada dalam naungan metafisika.
Apabila agama mencakup ilmu-ilmu selain dari metafisika, maka tidak akan muncul
sebuah pertanyaan yang masih menanyakan konsepsi-konsepsi yang berbau imaji. Tetapi,
tampaknya hal itu tidak dapat dihindari pemuka agama sampai detik ini. Sering kali
pola pikiran yang tidak sehat oleh pemuka agama membuat apriori absurd sehingga
membuat abstraksi dalam kenyataan dari hasil imaji yang dibuatnya. Dan perlulah
disadari bahwa lawan dari imaji adalah realitas. Sains dan teknologi bersifat
realitas dan umat manusia yang sadar akan kehidupan lebih membutuhkan realitas
dari pada imaji karena kehidupan ini adalah realitas! Maka muncul ignis
fatuus pada umat manusia terhadap agama sehingga reputasi agama mulai tidak
bernilai. Dan sungguh mencengangkan, bahwa pemuka agama masih dapat mengatakan
bahwa agama tidak membutuhkan reputasi. Lalu, apakah agama sederajat dengan
kotoran pada kaki tikus? Bukan jawaban itu yang meloloskan agama dari keterpurukannya.
Maka, kembali lagi pada meluluskan agama dari kemunduran adalah dengan
mengembalikan reputasi agama terhadap pengetahuan-pengetahuan realistis (yakni
sains dan teknologi). Dari reputasi ini, salah satu yang perlu diperbaiki
adalah pemuka agama di mana pemuka agama harus mampu mengetahui posisi agama
sebagai disposisi alami dari pikiran manusia dan mampu mengetahui perihal sains
dan teknologi sebagai pengetahuan yang bersandingan dengan dogma agama. Tentunya,
untuk melakukan kedua hal tersebut dibutuhkan pembaruan organon yang progresif
agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenal dan menyelesaikan konflik dari hasil
ekspresi sains dan teknologi terhadap agama atau sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar