Supremasi agama
dalam kehidupan sudah mengiringi dunia semenjak utusan-utusan Tuhan memulai
untuk mengajarkan dan mencerdaskan umat manusia di sekelilingnya. Mulai dari
yang muda hingga tua, pengajaran tersebut tidak mengalami keberpihakan
subyektif baik dari segi gender maupun karir. Dapat dikatakan bahwa agama
menjadi agen penyempurnaan untuk memuat pemikiran maupun moralitas dalam
berkehidupan.
Tetapi, di era
ini, tampaknya agama harus mulai merumuskan dan membuat terobosan yang super dahsyat
dan super solutif. Ada beberapa masalah baru muncul yang kiranya tidak mampu
diselesaikan agama menggunakan kitab-kitab peradaban lama maupun pemikiran
disertai dengan kebatinan. Alih-alih melalui keterkaitan pengetahuan agama
milik zaman ini dengan utusan-utusan Tuhan tidak akan bisa menyelesaikan
masalah yang tidak relevan sama sekali dengan kekuatan yang muncul ini. Kekuatan baru ini adalah sains dan teknologi.
Pada abad
pertengahan, kekuatan ini pernah muncul sehingga mampu menggetarkan
pemuka-pemuka agama khususnya “manusia gereja” karena bertentangan dengan
agama. Hingga tragedi Revolusi Prancis terjadi, kekuatan ini dapat beranjak
dari hibernasinya yang cukup lama sehingga dapat menghipnotis zamannya untuk
mau tidak mau harus memanggil diri mereka. Kekuatan ini makin lama makin
berkembang tanpa mengindahkan kemerosotan nilai luhur manusia yang tidak pernah
berkenalan dengannya. Secara langsung maupun tidak langsung limbah dari produk
kekuatannya mengenai mereka hingga mereka luput dari kehidupan dan menjadi sampah
bagi sejarah dunia. Cara yang cukup tulus dari mereka karena satu hal yang
pasti : tidak pernah menyinggung agama.
Agama pada
masanya adalah menjadi sesuatu yang paling mendasar bahkan hingga kini. Sejarah
agama di Indonesia pun terbilang ciamik. Pada masa Majapahit berkuasa, agama
menjadi landasan masyarakat sehingga menancapkan skema pemikiran yang agresif
dan berkualitas. Maka pantaslah masa itu disebut masa kegemilangan Majapahit.
Hingga Mpu Tantular menuliskan kitab di mana menyatakan bahwa semua agama
adalah sama sehingga menghilangkan prinsip dasar pada diri masyarakat.
Akibatnya, yang tercipta adalah manusia tanpa prinsip. Hilang kepribadian
karena sebuah konsep agama yang rancu. Kejatuhan Majapahit adalah kejatuhan
kualitas prinsip hanya semata-mata karena agama.
Tampaknya, terdapat persaingan
antara keduanya. Tetapi, Tampaknya juga bukan keduanya yang memunculkan sudut
pandang ini. Secara empiris, terkadang seorang perintis akan merasa gugup
karena adanya pesaing baru yang dapat menjatuhkannya sewaktu-waktu. Dan dalam
analogi ini, dapat kita sandingkan peristiwa kegugupan agama terhadap
eksistensi pamor sains dan teknologi. Apakah terlalu berlebihan? Apakah sains
dan teknologi takut karena kemudaannya? Tidak sama sekali! Apakah agama menolak
merumuskan masalah terhadap dirinya yang mulai tergerus? Bukankah itu suatu hal
yang positif bagi agama untuk memperbaiki sistemnya agar tetap eksis dan
diterima dunia? Dan sains maupun teknologi tidak pernah menyinggung ataupun
melukai ajaran agama sehingga tidak ada yang harus ditakutkan oleh mereka.
Untuk apa burung pipit takut dengan singa kalaupun burung pipit tidak menyerang
kelangsungan hidup singa? Bisa jadi singa yang melahap burung pipit apabila
kelaparan ataupun emosinya meluap.
Para pemuka
agama seyogyanya tidak perlu berkecil hati dan marah karena kemunculan hal ini.
Lebih-lebih mengutuk keberadaan mereka dalam persalinan sejarah. Kita telah
dihadapkan sesuatu yang jauh dari pembahasan yang pernah disinggung pada abad
kemunculan agama. Pada abadnya, agama tidak pernah menyinggung robot ataupun
metode perbaikan gen dan sains maupun teknologi tidak pernah menggoreskan
ajaran-ajaran agama. Kesertamertaan sains dan teknologi muncul pada dunia bukan
merupakan eksistensi agama yang selalu terbuka, tetapi karena tuntutan manusia
dan realitas yang mereka berikan menjadi solusi yang sangat relevan bagi
kehidupan. Lebih tepatnya adalah modernisasi yang berkiprah tanpa melihat
kemunduran.
Dimulai dari
kemunculan sains dan teknologi memunculkan hipotesis baru - atau mungkin suatu
kepastian - bahwa terdapat pergeseran terhadap kebutuhan manusia. Manusia masih
cenderung berpikir untuk mendapatkan sebuah keuntungan dan eksistensi terhadap
sesamanya. Sebab dari kemunculan pemikiran tersebut berdasar dari keinginan
manusia untuk menemukan metode untuk mencapai hal tersebut. Dengan agama manusia
hanya mampu menyerahkan sandiwara gagalnya kepada Tuhan agar diberikan sesuatu
yang mampu menggantikan atau memperbaru nasibnya yang lebih baik. Dan itu adalah
sebuah pengharapan. Lantas, mencari cara menggapainya agama tidak menampilkan
fraksi-fraksi penting untuk menemukan sebuah solusi. Kitab-kitab lama hanya
memperbincangkan cara-cara untuk kembali dan mengabdi pada-Nya. Dan sifat
manusia yang cenderung berakal tidak akan berhenti pada fase pengharapan.
Mereka akan berusaha dengan kekuatannya -meski kekuatan berasal dari-Nya-
mencari sebuah azimat untuk menggapai semua yang ada dalam bejana
pengharapannya. Mereka sudah tidak menaruh jaminan pada kitab-kitab lama. Yang
ada adalah sebuah logika dan kemampuan berpikir kritis untuk menciptakan sebuah
“alat” penuntas masalah. Berbahaya lagi kalau menuntaskan hal yang sudah usang,
yakni agama. Bisa jadi, Sang Pencipta pun akan dilupakan karena kekuatan sains
dan teknologi yang mulai mendigdaya manusia hingga mereka menciptakan surga
dunia dari eksplorasi sains dan teknologi.
Apakah agama
diam saja? Apakah agama hanya tunduk sembari mengapurancang terhadap sains dan
teknologi yang secara halus mulai merasuki sistem kedaulatan pemikiran manusia
sehingga melupakan pribadi agama? Atau mungkin menyerah seperti orang yang
sudah tua renta yang tidak bisa berbuat sesuatu dan mudah dimanipulasi oleh
kaum muda? Atau sudah tidak ada bahan bakar lagi untuk berpikir?
Manusia dominan
merasakan bahwa sains dan teknologi tidak memberikan batasan pada manusia sehingga
siapa pun dapat berkontribusi, memberi solusi, ataupun mengkritisi perihal
kebenaran dan kesalahan yang muncul pada sekian waktu dan tempat tanpa batas.
Sains dan teknologi pun mampu menerima itu semua. Bahkan mereka tidak pernah
melakukan dosa-dosa yang pernah dilakukan manusia terhadap sejarah-sejarah yang
telah tersusun sejak dunia tercipta. Dengan
perihal ini siapa pun akan suka dan cinta terhadap mereka. Apakah penciptaan
bom adalah salah sains dan teknologi? Bagaimana dengan tank dan revolver?
Tidak! Itu adalah kesalahan manusia yang super ego dan tak tahu diri akan
hakikat dunia! Dan agama? Barangkali
tidak sepantasnya dituliskan permasalahan-permasalahan yang dilibatkan karena
agama semenjak sejarah telah tertulis. Barangkali itu akan merendahkan derajat
agama bagi pengikut setia maupun yang ingin menyelam. Atau mungkin beberapa hal
yang fatal saja?
Tidak
henti-hentinya sains dan teknologi selalu berlari seakan tidak ada tombol untuk
menghentikannya. Seperti halnya kronologi sejarah yang selalu tercatat satu per
satu hingga mampu menghipnotis para umat manusia menjadi makhluk penuh arti dan
mampu memberi arti terhadap suatu hal. Begitu pun agama juga mengalami perkembangan. Tetapi,
apakah sains dan teknologi berkembang karena bergelantung terhadap agama? Atau
sebaliknya? Atau lebih sadisnya bahwa manusia lebih memandang sains dan
teknologi sebagai kebutuhan primer daripada agama? Apabila kita kaji lebih jeli
bahwa sains dan teknologi mampu berkembang secara mandiri. Mandiri karena tidak
perlu melakukan persinggungan dengan pengetahuan-pengetahuan batiniah yang
tidak dapat dibuktikan oleh umat manusia secara masif. Malahan, sains dan
teknologi memperbaiki dan membuktikan keberadaan batiniah-batiniah yang telah
tercipta sehingga membuat orang lebih percaya tentang kekuatan Tuhan. Seperti
contoh studi syaraf yang mampu menstimulus pengkajian ilmu tentang kekuatan
inteligensi dan pengkajian tentang supernova. Begitu juga agama pun juga
mandiri. Tetapi kemandirian itu muncul pada awal masanya saat benar-benar umat
manusia sangat membutuhkan keyakinan. Agama dibutuhkan untuk meningkatkan
kualitas kemanusian mereka sehingga tidak hilang arus arah seperti halnya hewan
yang berkelakar bebas dan hidup tanpa akal budi. Dan waktu ke waktu manusia pun
menciptakan sebuah pemikiran tersendiri, yakni filsafat. Dan filsafat pun
menjadi modal pemikiran hingga terciptanya sains dan teknologi. Sekarang, tidak
sadar bahwa agama pun sudah bergelantung terhadap sains dan teknologi. Selamat
datang di media sosial beserta kelengkapannya.
Sudah beberapa
tahun agama sudah mulai melakukan penggelantungan terhadap mereka. Apakah
secara tiba-tiba ingin memutus tali gelantung untuk menghindari hujatan umat
manusia yang memihak sains dan teknologi? Ataukah menyerahkan semua pengikutnya
agar memihak yang digelantungnya supaya sewaktu-waktu pengikutnya dapat
melakukan pengkhianatan terhadap mereka? Atau menyerah?
Ada sesuatu
yang harus diperbuat...
Komentar
Posting Komentar