Langsung ke konten utama

Review Buku Factfulness by Hans Rosling | Sepuluh Alasan Kita Keliru Tentang Dunia-dan Segalanya Lebih Baik daripada yang Kit

 


Factfulness adalah buku tentang dunia dan bagaimana dunia sesungguhnya. Hans Rosling menginginkan kita sadar akan kebenaran dunia yang indah. Mengajak kita dengan melihat data untuk mereduksi dramatisasi otak kita terhadap wawasan dunia,  menyadari kemajuan yang berjalan, mengoptimasi rasa curiga, hingga berhati-hati dengan generalisasi yang berbahaya. Senjata pamungkas yang Hans gunakan untuk membuktikan kebodohan kita dengan 13 soal di pendahuluan akan membuat kita sadar begitu tidak pantasnya kita berada di abad modern ini. Bersama Ola Rosling dan Anna Rosling menyampaikan data-data dengan ciamik dan asyik untuk kita nikmati, Hans Rosling akan mengantarkan kita bagaimana memahami dunia yang sebenarnya menggunakan data. Dan, Hans akan menunjukkan sepuluh naluri kita sebagai manusia yang harus kita ubah agar dapat memahami dunia sejernih mungkin.


Gambar. World Health Chart tahun 2019. Sebuah penjelasan tentang data sebaran penghasilan suatu negara dengan rentang hidup di negara tersebut. Kurva x menunjukkan nilai penghasilan yang dibagi menjadi empat tingkat dari yang terendah (tingkat 1) hingga tingkat tertinggi (tingkat 4). Kurva y menunjukkan angka rentang hidup atau usia harapan hidup. Ukuran lingkaran menunjukkan jumlah populasi. (Sumber: gapminder.org)

1.    Naluri terhadap Kesenjangan

Kita sering dan sangat dominan ketika membicarakan sesuatu yang terbagi menjadi dua bagian. Saking dominannya hingga kita tidak mengenali bahwa membagi sesuatu menjadi dua bagian adalah sebuah tindakan yang brutal dan sangat tidak adil. Bagaimana kita menyikapi orang kaya versus orang miskin? Negara maju dan “tidak maju”? Apakah menciptakan dua golongan adalah hal terbaik dan memuaskan?

Data Hans adalah jawaban. Hans memberikan tabel gelembung berapa pendapatan semua negara yang dikaitkan dengan usia harapan hidup dalam satuan tahun. Data menunjukkan bahwa tahun 2017 sangat berbeda dengan tahun 1965 atau pun sebelumnya. Data di tahun 1965 menunjukkan terbaginya dua kategori yang sangat ekstrem sehingga kita dapat membagi menjadi dua golongan. Sedangkan di tahun 2017 semuanya bias. Sangat banyak negara yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut bukan termasuk negara miskin atau pun negara kaya. Terlebih lagi, kita sering menonjolkan pikiran biner yang membuat semua hal dapat dibagi menjadi dua. Wawasan kita ternyata masih stuck di abad 20-an.

Solusi untuk memecahkan pikiran tersebut adalah menciptakan pemikiran baru dengan membuat beberapa golongan dan tidak harus dua. Kita juga perlu mewaspadai pembandingan harga rata-rata karena terdapat sebaran-sebaran yang mungkin membuat skeptis dan menjebak pikiran kita. Perlunya juga mewaspadai hal-hal perbandingan yang sangat ekstrem karena ada hal-hal yang “di tengah” yang membuat kita lebih adil menyikapinya.

2.    Naluri terhadap Negativitas

Ini melebihi negative thinking. Ini menyerang naluri yang mengatakan bahwa dunia yang saat kita huni sedang tidak baik-baik saja bahkan makin buruk. Hingga saat ini, masih banyak orang di sekitar kita yang menganggap bahwa dunia sedang mengalami kehancuran karena alam yang makin rusak atau kejahatan yang makin merajalela. Kita tidak pernah tahu kalau kita disodorkan dengan data, dunia ternyata tidak semengerikan itu. Justru dunia yang kita huni sedang mengalami perbaikan-perbaikan yang progresif.

Hans memberikan banyak tabel yang membuat kita sadar begitu buruknya negativitas kita terhadap dunia. Jumlah infeksi HIV, kematian anak, hukuman mati, angka kelaparan, tenaga kerja anak, kematian akibat bencana, kematian akibat perang, alam yang dilindungi, cakupan listrik, angka melek huruf, imunisasi, air bersih, hingga kepemilikan telepon seluler. Kita masih sering mendominasikan perasaan daripada pikiran. Terlebih lagi kita -ternyata- mengharapkan berita-berita yang buruk. Banyak hal yang sedang mengalami kemajuan, tetapi perasaan kita sangat suka hal-hal negatif karena dramatisasi kita sering bermain di sana. Bahkan, kemajuan tidak akan diberitakan atau disebarluaskan. Kalau ada hal baik, kita biasa-biasa saja. Dramatisasi tidak berkontribusi.

Solusi yang dapat dilakukan adalah membiasakan untuk membedakan berita buruk yang berpotensi akan membaik dan tetap buruk, skeptis terhadap kabar buruk apakah ada kabar baik yang tidak sempat disampaikan, memahami perbaikan bertahap yang tidak kita rasakan, dan berhati-hati terhadap masa lalu yang dipoles.

3.    Naluri terhadap Garis Lurus

Kecenderungan kita melakukan prediksi secara langsung tanpa melakukan analisis masih sering terjadi kesalahan. Apabila kita dihadapkan sebuah grafik yang naik secara normal hingga terbentuk garis lurus, kita ada kemungkinan memprediksi bahwa grafik akan naik membentuk garis lurus juga. Bagaimana kalau malah menukik atau turun melandai? Atau bahkan turun dengan tajam? Bagaimana dengan angka positif pandemi yang sedang terjadi? Atau yang paling gampang, seiring bertambahnya umur, apakah rentang tinggi badan yang tercipta membentuk garis lurus?

Sering kali masyarakat ketika diberi pertanyaan tentang jumlah populasi manusia dunia saat tahun 2100 atau di atasnya, kecenderungan muncul bahwa jumlah populasi manusia akan makin bertambah berlibat-lipat. Dari mana kita tahu prediksi-prediksi tersebut jika kita melakukan analisis pendekatan yang kita komparasikan dengan pola KB di tiap negara? Mungkin kita belum mempertimbangkan fill-up-effect yang akan terjadi.

Intinya adalah tidak semua kurva yang terbentuk adalah garis lurus. Masih banyak pola kurva yang dapat terbentuk. kurva berbentuk S, kurva gundukan, kurva seluncuran, hingga kurva lipat dua. Solusi sederhana untuk menghindari naluri terhadap garis lurus adalah menghindari pengandaian terhadap garis lurus. Lihat dan lakukan analisis sedalam-dalamnya.

4.    Naluri terhadap Rasa Takut

Takut adalah hal yang wajar bagi manusia. Tetapi, bagaimana kalau takut itu ternyata terlalu berlebihan dan tidak tepat untuk dilakukan? Atau barangkali ketakutan itu ternyata dramatisasi yang berlebihan? Perasaan kita sedang terancam oleh diri sendiri.

Ketakutan sangat relatif. Ada orang dalam golongan tingkat satu dominan takut pada ular. Tetapi, di tingkat empat, orang-orang lebih takut terhadap terorisme, kekerasan seksual, hingga bencana yang tidak diduga. Padahal terdapat paradoks yang muncul : citra dunia yang berbahaya belum pernah dipancarluaskan secara lebih efektif daripada sekarang padahal dunia justru belum pernah seramah dan seaman ini.

Apakah kita tidak tahu kalau ,ditahun 1991-2016 jumlah orang yang tewas karena bencana jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 1965-1990? Atau semisal kronologi tahun itu digabungkan menjadi satu grafik yang terlihat adalah terbentuknya grafik penurunan yang sangat drastis. Bagaimana dengan ketakutan dengan perang? Kalau semisal kita takut dengan terjadinya perang memang wajar. Tetapi, data menunjukkan bahwa adanya penurunan yang sangat besar terhadap jumlah kematian apabila kita melihat data kematian karena perang di tahun-tahun perang dunia I dan II. Bukanlah ketakutan menjadi jalan keluar. Merawat hadiah perdamaian adalah tujuan kita saat ini.

Memang rasa takut ada gunanya. Ada guna jika ketakutan itu diarahkan kepada hal-hal yang benar. Perlunya kita membedakan apa yang “menakutkan” dan “bahaya”. Arahkan ketakutan-ketakutan tersebut pada bahaya besar pada zaman ini, bukan kita arahkan pada bahaya ketika kita masih berevolusi. Apabila ketakutan itu muncul, tenangkan diri sebelum mengerjakan sesuatu karena hal itu akan membuat Anda melihat dunia tampak berbeda. Buatlah keputusan sesedikit mungkin sampai ketakutan tersebut menurun

5.    Naluri terhadap Ukuran

Ketika kita disodorkan sebuah satu angka dalam pemberitaan, secara tragis angka tersebut membuat kita tercengang seperti halnya sebuah peringatan. Apakah benar kalau angka tersebut besar seperti yang kita proyeksikan? Bagaimana kalau jika dibandingkan dengan angka-angka lainnya? Bagaimana dengan kematian seseorang di rumah sakit jika dibandingkan dengan kematian orang-orang yang ada di daerah terpencil?

Ketika kita menyelamatkan seseorang yang sakit di rumah sakit -asumsikan kita adalah seorang dokter- kita telah berhasil menyelamatkan satu orang di rumah sakit. Tetapi, ternyata data menunjukkan bahwa ada kematian seratus dari tiga ratus orang di daerah hutan yang jauh dari fasilitas kesehatan. Apabila kita melakukan pengobatan dan membuat fasilitas kesehatan di daerah hutan, setidaknya kita bisa menyelamatkan lima puluh dari tujuh puluh orang dengan efek samping meninggalkan satu orang pasien di rumah sakit. Berbicara rasa kemanusiaan, apakah memilih menyelamatkan satu orang dengan kematian yang melimpah lebih manusiawi daripada menyelamatkan tujuh puluh orang dengan satu kematian?

Pandangan kita cenderung tidak proporsional. Bagaimana jika angka-angka kita bandingkan dari hal-hal yang memiliki keterkaitan? Salah satu contoh yang paling cocok untuk saat ini adalah jumlah emisi karbon. Secara perhitungan total, India adalah salah satu negara dengan produksi emisi karbon terbesar. Tetapi, ketika angka itu dibagi “per orang”, India bukan apa-apa. Bukankah ada ketidakadilan jika menghitung total angka jika tidak diratakan dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya?

Maka, pandanglah semuanya secara proporsional. Angka-angka tunggal bisa jadi menyesatkan karena tidak ada pembanding angka-angka lainnya. Telusuri angka-angka pembandingnya. Gunakan kaidah pembagian untuk mengetahui jumlah rate agar data yang ada menjadi lebih bermakna dan dapat disimpulkan lebih baik.

6.    Naluri terhadap Generalisasi

Generalisasi yang keliru adalah kebuntuan pikiran dari semua pemahaman. Bayangkan jika Anda memakan makanan seperti orang Bandundu di mana sajian makanannya adalah larva? Atau bagaimana jika Anda dipandang bodoh karena Anda adalah orang Jawa karena perbandingan intelektual yang jauh dengan orang Barat? Generalisasi sangatlah menyesatkan!

Realitas sangatlah penting. Kita perlu membuat kategori-kategori untuk membantu kita memberikan setiap penjelasan terhadap dunia. Sebuah contoh, ketika kita disodorkan kata Afrika, ada kecondongan bahwa Afrika adalah daerah miskin dengan kesejahteraan dan kesehatan yang kurang maksimal. Padahal tidak semua negara Benua Afrika seperti itu. kita perlu membuat kategorisasi untuk menjelaskan demi menghasilkan kesimpulan yang baik. Stereotip adalah salah satu problemnya. Menyamakan sesuatu dengan sesuatu lainnya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang harusnya tidak tercipta.

Cara mengendalikan generalisasi adalah mencari kategori-kategori yang lebih baik. Carilah perbedaan-perbedaan kelompok terutama kelompok tersebut terlalu besar. Carilah persamaan dan perbedaan kelompok-kelompok tersebut agar tercipta klasifikasi yang baik dalam wawasan kita. Dan, ketika ada sesuatu yang aneh, bangkitkan rasa ingin tahu. Barangkali itu adalah keputusan yang tepat sebelum memberikan penilaian ataupun penjelasan.

7.    Naluri terhadap Takdir

Memang benar kalau takdir telah melekat pada diri kita sesuai apa yang menjadi keputusan-Nya. Tetapi, apakah kita perlu meyakini bahwa takdir kita adalah menjadi seorang pecundang? Ataukah negara Asia tidak akan bisa maju seperti negara Barat? Naluri takdir membuat anomali dalam tujuan hidup kita.

Seakan-akan apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah berubah di masa kita. Apakah kita tidak merasakan bahwa angka kesehatan di negara kita pribadi sedang mengalami kemajuan dibandingkan masa lalu? Apakah kita tidak sadar kalau ekonomi negara kita ternyata perlahan mampu bersaing dengan negara Barat? Kita tidak bisa memahami makna “perlahan” dalam sebuah proses yang berjalan secara tidak sadar. Perubahan lambat bukan berarti tidak ada perubahan. Perasaan kita tidak mampu melihat hasil kuantifikasi.

Perbaruilah pengetahuan untuk menimbun pengetahuan yang kadaluwarsa. Menjadi terbuka terhadap data yang baru tidaklah memalukan dan bahkan membantu Anda untuk membuat sikap yang berbeda terhadap informasi yang telah lampau. Apabila Anda masih perlu pembuktian terhadap perubahan, kumpulkan contoh-contoh perubahan kebudayaan yang saya sangat yakin bahwa beberapa kebudayaan lampau berbeda dengan kebudayaan masa sekarang, bahkan masa mendatang.

8.    Naluri terhadap Perspektif Tunggal

Apakah perspektif yang kita kemukakan adalah perspektif yang paling tepat untuk menyelesaikan suatu masalah? Kita cenderung merasa bahwa kita sangat memahami sesuatu. Sederhananya adalah perspektif kita sangatlah tepat karena hal tersebut adalah profesionalitas yang kita dalami. Tidak selalu benar jika kita berpikir semacam itu.

Meskipun kita adalah seorang pakar, belum tentu jalan keluar yang kita sampaikan adalah jalan keluar satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan. Kita juga tidak bisa menyalahkan jika pakar tersebut memang pantas untuk memberikan solusi sesuai bidangnya. Namun, tidak semua hal faktual dikuasai oleh satu bidang pakar. Barangkali kita juga perlu profesi lain untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Semuanya memiliki keahlian yang terbatas.

Terlebih lagi, kasus yang paling fatal adalah merasa gagasan kita adalah gagasan yang paling tepat. Barangkali gagasan-gagasan lainnya juga bisa menjadi jalan keluar yang paling sempurna ataupun memperbaiki kekurangan dari gagasan kita. Berhatilah-hatilah dengan gagasan dan solusi yang kita sampaikan. Barangkali gagasan kita hanyalah gagasan yang terkesan sederhana sehingga tidak menyelesaikan masalah.

9.    Naluri terhadap Menyalahkan

Naluri menyalahkan adalah naluri untuk mencari alasan yang jelas dan sederhana tentang mengapa sesuatu yang buruk telah terjadi. Contoh kasusnya adalah ketika pesawat mengalami kecelakaan, siapakah yang kita salahkan? Pilot karena dia mengantuk? Baiklah. Tetapi, apa yang membuat pilot tersebut mengantuk? Koki dapur yang salah memberikan takaran pada makanan? Atau jam tidur yang sangat pendek?

Contoh paling unik adalah emisi karbon. Orang Barat menyadari bahwa negara-negara mereka adalah penghasil emisi karbon yang besar. Sedangkan negara-negara tingkat satu (negara dengan kelas pendapatan paling rendah) menghasilkan emisi karbon yang sangat sedikit. Masalahnya, orang Barat mengatakan “Mereka (negara tingkat satu) tidak boleh hidup seperti kita.” Harusnya yang mereka katakan adalah “kita tidak boleh hidup seperti sekarang.” Patutkah menyalahkan untuk melempar tanggung jawab?

Siapakah yang harus disalahkan? Penyebab masalahnya sungguh rumit. Sebuah sistem. Apakah kita harus menyalahkan sosok-sosok yang berada di sistem tersebut? Mungkin saja kita adalah salah satu orang yang terlibat. Solusi yang tepat untuk menghilangkan rasa menyalahkan adalah berusaha untuk tidak mencari kambing hitam. Cari penyebab, bukan penjahatnya. Dan cari sistem, bukan pahlawan.

10. Naluri terhadap Keterdesakan

Naluri yang sangat mencekam cara keputusan kita. Apabila Anda menjadi kepala desa dan separuh warga desa Anda mengalami kematian secara misterius, apakah Anda langsung melakukan isolasi terhadap desa Anda? Tanpa memikirkan akibat-akibat ganda yang berakibat fatal terhadap lainnya? Keterdesakan menghambat jalur pemikiran kita untuk membuat keputusan yang baik.

“Sekarang atau tidak pernah lagi!”. Pernyataan tersebut seperti kita disodorkan revolver yang mengarah di kepala kita. Tidak perlu pikir panjang. Apakah hal itu membuat kita makin lancar untuk berpikir dan mendapatkan jalan keluar yang hebat? Justru sebaliknya. Hal itu akan membuat kita akan berhenti berpikir sehingga menyerahkan kepada naluri kita dan membuat keputusan yang buruk. Padahal kita perlu membaca informasi yang terjadi, melakukan beberapa riset, hingga menganalisis data dengan menyimpulkan secara cermat. Keterdesakan menjadi momok pengalih perhatian paling buruk dalam wawasan kita tentang dunia.

Solusi yang perlu kita lakukan adalah mengambil langkah-langkah kecil yang kemungkinan tidak menimbulkan kesalahan fatal. Cobalah untuk meminta data apabila dalam suatu kasus memiliki data yang relevan dan akurat. Waspadai orang-orang yang senang meramal. Terkadang prediksi-prediksi yang terlihat adalah prediksi yang tidak berdasarkan fakta atau memang peristiwa tersebut tidak dapat diprediksi. Terakhir, berhati-hati terhadap aksi yang drastis atau heroik. Analisis apakah ada efek-efek samping yang terjadi dengan keputusan yang akan kita ambil. Gunakan perbaikan praktis selangkah demi selangkah. Meskipun kurang dramatis, itu lebih efektif.

11. Factfulness dalam Praktik

Kita harus mengubah cara berpikir dan berperasaan kita. Siapakah yang harus memutuskan pertama kali, apakah akal atau perasaan? Dan yang terpenting adalah mengajarkan kepada anak-anak kita kerangka dasar cara menyikapi dunia yang selalu berubah. Waktu semakin maju dan wawasan juga perlu pemutakhiran. Baik dalam pendidikan, bisnis, jurnalisme, organisasi, atau komunitas pribadi factfulness perlu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang merasa terinspirasi untuk menyadari seperti apa dunia ini. Dengan menguji pengetahuan menggunakan cara-cara yang sederhana akan membuat rasa ingin tahu dan wawasan akan terus mengalir tiada henti.

 

Ardani, 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan Cinta untuk Indah-ku

Izinkan aku tuk menulis ini. Teruntuk kekasihku yang akan menemani hingga akhir. Permata cinta kasihku yang cantik nan mempesona. Indah Nurul Qamariyah. Apakah ada kata yang lebih mempesona selain “Aku mencintaimu”? Mencintaimu seakan menjadi bagian hidupku yang selalu mengiringiku seperti malam bersama hawa dingin. Mencintaimu seakan menjadi pundi-pundi kebahagiaan yang selalu kuinginkan bersama suka duka kehidupan. Dan, mencintaimu akan menjadi jalanku untuk membangun surga bersamamu. Keterbatasanku akan selalu ada. Tetapi, itu tak membuatku berhenti memperbaiki diriku. Aku hanya manusia biasa dengan segala kekurangan. Manusia yang pasti melakukan kesalahan besar maupun sepele. Tapi, suatu saat engkau pasti tahu bahwa kesalahan-kesalahan ini yang akan menjadikan cinta ini menjadi dewasa dan mengantarkan kita pada jalan perjuangan manis yang sempat kita harapkan malam itu. Keyakinanku adalah dengan keterbatasan inilah yang membuat cintaku kepadamu abadi nan manusiawi sebagaimana

Review Buku David and Goliath - Karya Malcolm Gladwell

Judul Buku                : David and Goliath – Ketika si lemah menang melawan raksasa Penulis                       : Malcolm Gladwell Tahun                         : 2013 Jumlah Halaman      : 301 Halaman Genre                          : Self-Improvement Cerita klasik tentang Daud – dalam bahasa inggris David – dan Goliath menjadi pelajaran inti yang dibawakan Gladwell dalam bukunya. Menggambarkan kembali seorang pemuda yang biasa saja dapat mengalahkan seorang raksasa besar nan ditakuti seantero pasukannya. Dari cerita Daud dan Goliath, kita berasumsi bahwa kemenangan tidak berdasarkan kekuatan atau yang baik akan mengalahkan yang jahat. Tidak seperti itu! Nyatanya, pertarungan itu adalah pertarungan dengan cerdiknya strategi. Buku ini tidak menjelaskan tentang kekuatan yang dahsyat tidak menjadi jaminan. Tetapi, bagaimana memanifestasikan kelemahan dan kekuatan yang bersemayam dalam diri kita menjadi keunggulan pada waktu dan kondisi yang tepat. David dan Goliath mengilha

Tak Layak Dicintai

Seperti cerita biasanya Seorang lelaki sepertiku Yang tak layak mendapatkan cinta Yang tak layak dicintai Yang tak layak bahagia dengan cinta Cinta dan benci Dan benci adalah sahabatku Sejak dulu dan hingga kini Barangkali menjadi kekasih masa depan Benci adalah kisah kasihku Benci lebih mengenalku Dan cinta sejak dulu menjauhiku Aku yang lahir dengan kebencian Dan bersemayam bersama kebencian Dan berakhir bersama kebencian Aku adalah kebencian Dan cinta baiknya jauh dariku Hingga Tuhan tahu Aku terlahir untuk dibenci