Richard Dawkins mencoba mengajak kita untuk berkelana di
dunia evolusioner dengan memulai dari awal penciptaan “kehidupan”. Dari
teori-teori yang dipaparkan olehnya, kita dihadapkan oleh sesuatu yang tidak
asing dan tidak jauh dari kita, yakni “gen”. Bukannya kita diajak untuk
mendefinisikan arti gen sesungguhnya secara biologis (dimana gen sering kita
bahas di ilmu biologi), malahan Richard Dawkins mendorong kita untuk
mendefinisikan gen secara “perilaku”. Apakah selama ini gen ada karena
“keegoisan” ataukah sifat altruisme? Ataukah ada strategi yang digunakan gen
untuk bertahan guna “menjaga kelangsungan spesies”? Ataukah ada yang berlaku
dalam dinamika seleksi gen? Ataukah ada yang cukup mampu menjadi “mesin
kelestarian”?
Gen merupakan kumpulan dari berbagai
molekul. Tapi, bagaimanakah permulaan adanya gen hingga terbentuknya suatu
organisme? Teori Darwinisme mengungkapkan bahwa ini dimulai dari “kelestarian
yang paling sesuai”. Dimulai dari atom-atom yang tak beraturan membentuk
konfigurasi yang dibantu dengan kocokan biokimia oleh alam. Dan itu benar-benar
tidak terjadi secara spontan, melainkan waktu yang sangat lama. Dari
proses-proses tersebut munculah “sesuatu” yang tak sengaja muncul dimana ia
mampu melakukan penggandaan sesuatu, yakni replikator. Hingga replikator ini
mampu menggandakan molekul yang bersama dengan dirinya. Hingga akhirnya, mereka
yang mampu melakukan penggandaan mengadakan kompetisi. Dari sini kita
mendapatkan (meskipun masih samar) bahwa replikator-replikator yang mampu
berkompetisi pantas memasuki tubuh kita sebagai gen, dan kita sebagai mesin
kelestarian.
Dawkins juga menyinggung bagaimana gen
“menggerakkan” individu. Contohnya seperti burung cenderawasih jantan yang
memiliki ekor yang indah untuk menggoda sang betina. Dalam sudut pandang
reproduksi, sang jantan yang memiliki ekor indah lebih disukai oleh betina
karena memiliki ekor yang indah sehingga diharapkan anaknya juga akan memiliki
ekor yang indah. Tetapi, jika dikaji melalui sudut pandang lain, bukankah
predator cenderawasih lebih mudah melihat dan memangsa cenderawasih yang
memiliki ekor indah (pada umumnya ekor indah juga panjang sehingga memberatkan
sang jantan)? Maka dari sini kita cukup tahu bagaimana gen akan mengarahkan
pada kesuksesan untuk bertahan hidup.
Pada kondisi lainnya, gen juga
menerapkan strategi evolusi yang stabil atau disingkat SES. Individu akan
melakukan apapun “untuk kebaikan spesies”nya. Seperti contoh pada kerumunan
burung kecil yang melihat elang. Pada saat itu juga ada seekor burung yang memberikan
alarm untuk memberitahu koloninya bahwa ada elang yang tengah memburu. Koloni
burung tahu akan hal itu sehingga lantas koloni itu mulai siaga untuk kabur.
Tetapi si burung yang telah membunyikan alarm memberitahu elang akan lokasinya
karena alarm itu menjadi target si elang. Burung itu telah melakukan sikap
altruisme terhadap kawanannya. Tapi itu juga menunjukkan ke”egois”annya untuk
mempertahankan spesiesnya dari kematian yang lebih banyak. Apakah ini keegoisan
untuk altruisme?
SES pun menjadi kunci dari kesuksesan
bertahan spesies. Kita bisa katakan bahwa ke”egois”an gen muncul untuk
mempertahankan spesies. Namun pada kondisi tertentu, gen akan melakukan
keegoisannya. Contohnya pada persilangan antar orang tua di mana keduanya
mengalami meiosis pada saat pembentukan gamet. Pada saat peleburan, terjadilah persaingan
gen dimana merebutkan posisi alel yang sesuai diantara keduanya. Semisal pada
gen pengkode warna, dimana ibu membawa warna merah, sedangkan ayah membawa
coklat. Pada kondisi ini terjadilah perebutan ego dimana keduanya harus
bersaing untuk mendapatkan posisi agar mereka dapat memunculkan efek pada
individu. Tapi altruisme juga terjadi disini. Contohnya pada gen bulu. Gen bulu
putih lebih “mengalah” terhadap gen bulu hitam karena pada lingkungan lebih
mendukung bulu hitam untuk sukses bertahan hidup. Dari pada gen hilang
seluruhnya, lebih baik mereka mencoba altruis agar bertahan di dalam gene pool
agar muncul pada waktu yang tepat. Gen diseleksi bukan karena “baik” secara
sendirian, melainkan karena bekerja dengan baik dalam hubungannya dengan dengan
gen lain yang menjadi latarnya di dalam gene pool. Hingga dapat dikatakan tubuh
individual adalah “mesin egois” yang berusaha melakukan hal terbaik untuk semua
gennya.
Luar biasanya, Richard Dawkins
membahas tentang strategi untuk bertahan hidup yang lebih layak. Menyinggung
tentang zero sum dan non zero sum. Melibatkan siapa yang baik dan siapa yang
curang. Membahas tentang individu yang mampu bekerja sama, satu ditipu dan satu
menipu, serta saling menipu. Digambarkan bahwa adanya perhitungan strategi yang
cocok untuk bertahan hidup. Ada beberapa strategi yang cocok untuk diterapkan
sehingga dapat dijadikan SES (meski tidak seberapa baik), yakni strategi “balas
setimpal”. Pada kondisi tertentu tidak selalu orang akan bekerja sama (meski
ada). Dan ada juga yang menipu, tetapi hal itu tidak juga membuat orang yang
telah tertipu untuk ditipu kembali. Hingga “balas setimpal” akan bekerja untuk
mengajarkan kita bagaimana dinamika bertahan hidup. Apakah kita bertahan hidup
untuk mengedepankan egoisme atau bertahan hidup untuk bekerja sama atau saling
altruisme?
Hingga Dawkins membahas tentang
perluasan efek fenotipik dimana kita tahu bahwa gen akan berefek pada sifat
fisik kita. Tetapi, terdapat teori sandingan bahwa gen akan menyampaikan
efeknya pada sekitarnya. Pada kasus contoh yang mudah adalah sarang laba-laba.
Laba-laba membentuk sarang yang terkesan rapi dan kuat. Untuk menyusun sarang
seperti itu, dapat dibuktikan bahwa gen bekerja pada “perilaku” (mudahnya
adalah innate). Apakah “naluri” tersebut bukan dari gen yang telah menggerakkan
dan mengajarkan individu untuk melakukan hal tersebut agar dia mampu bertahan
hidup lebih lama?
Dan pada akhirnya, dan bagaimanapun
juga, replikator adalah segala di alam semesta yang membuat salinan. Namun,
kita sebagai individu begitu juga organisme lainnya tidak mesti ada.
Satu-satunya jenis entitas yang harus ada agar kehidupan bisa muncul adalah
sang replikator abadi, yakni gen.
Ardani, 2020
Good review!
BalasHapus